Tantangan Peningkatan Produksi Pangan untuk Menghadapi Lonjakan Populasi pada 2050

Umat manusia ke depan setidaknya akan menghadapi dua tantangan yang pasti datang dan harus siap untuk dihadapi, serta dicari penyelesaiannya, yaitu masalah pangan dan energi.

Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ahmad Romadhoni Surya Saputri pada (3/9) di Kantor Suara Muhammadiyah.

Menurut Wakil Dekan Fakultas Peternakan UGM ini, untuk memperluas dan menguatkan perspektif tentang pertanian, maka peta permasalahan tidak cukup jika hanya disempitkan pada sektor pertanian – sebab ini merupakan masalah pangan.

“Karena problem kita bukan pertanian, tapi problem kita adalah pangan. Ke depan saya kira ada dua tantangan terbesar yang perlu disiapkan oleh kita semua, dan generasi mudah, yaitu tantangan di masalah pangan dan energi,” katanya.

Merujuk beberapa sumber, Dhoni menyebut bahwa pada 2050 diperkirakan populasi manusia di dunia mencapai 9,7 miliar. Sementara di Indonesia pada 2045 sampai 2050 penduduknya diperkirakan bertambah menjadi kurang lebih 300 juta jiwa.

Kenaikan jumlah penduduk tersebut, katanya, membutuhkan peningkatan jumlah produksi pangan sebanyak 50 persen dari yang dihasilkan saat ini. Akan tetapi untuk mencapai jumlah tersebut terdapat berbagai tantangan yang harus dijawab.

Tantangan tersebut menurut Dhoni meliputi penyempitan lahan sebagai resiko urbanisasi. Tantangan itu sebenarnya menurut Dhoni telah direspon oleh Pemerintah dengan membuka food estate di berbagai kawasan di luar Jawa.

Akan tetapi Dhoni menyebut, proyek tersebut memiliki potensi tinggi akan mengalami gagal panen. Dia menjelaskan, karena dari lahan hutan yang dibabat tanahnya masih asam, belum siap dijadikan lahan untuk tanaman pangan produktif.

“Para ahli itu mengatakan tujuh kali tanam dulu baru bisa berekspektasi panen. Karena sebelumnya itu pasti gagal panen, meskipun panen tapi tidak banyak,” kata Dhoni.

Tantangan selanjutnya untuk meningkatkan jumlah produktivitas pangan sebesar 50 persen adalah menurunnya jumlah tenaga kerja produktif di sektor penyediaan pangan. Anak-anak mudah sudah enggan untuk terjun di dunia penyedian pangan.

“Anak-anak mudah sudah tidak mau lagi terjun di bidang penyediaan pangan, entah itu beternak, bertani, maupun nelayan, dan petani ikan. Persepsi dunia pertanian dan peternakan bagi mereka itu negatif,” imbuhnya.

Hal itu tidak berlebihan, sebab kenyataannya sebagian besar petani di Indonesia ini miskin dan identik dengan kerja-kerja kotor. Oleh karena itu perlu ada penyegaran persepsi – sehingga tidak lagi disebut petani atau peternak, tapi penyedia pangan.

Tantangan selanjutnya atau yang ketiga adalah ketersediaan akses. Sulitnya akses ini menjadi tantangan untuk penyediaan pangan, tersendatnya akses pangan menyebabkan berbagai kerugian termasuk munculnya masalah stunting.

Indonesia mengalami masalah stunting, persentasenya adalah 1 dari 5 orang anak-anak di Indonesia itu stunting. Paradoksnya, Indonesia juga mengalami ketimpangan di mana 1 dari 4 anak di Indonesia itu obesitas.

Usaha peningkatan penyediaan pangan bagi bangsa Indonesia juga terganjal masalah rendahnya kesadaran akan pemanfaatan makanan. Sebab menurut BAPPENAS pada 2021, sisa makanan terbuang atau food loss and waste di Indonesia mencapai 23 juta hingga 48 juta ton per tahun.

Jumlah sisa makanan terbuang tersebut menyebabkan kerugian bagi Indonesia sebesar Rp. 213 triliun sampai sampai Rp. 55i triliun per tahun, atau setara dengan 4 persen sampai 5 persen Produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Share the Post: